Rabu, 09 Oktober 2019


Mengurai Kesesatan Syiah
Irsyadul Hakim, B.S, M. Pd.

   A.    Pendahuluan
Pembahasan mengenai Syiah selalu mengundang tanda tanya besar pada umat Islam yang belum mendalami prinsip-prinsip dasar ajaran Syiah. Ditelisik dari sejarah perkembangannya terdapat beberapa pendapat para ulama tentang sejarah kemunculan kaum Syiah, pendapat yang paling masyhur mengungkapkan, bahwa kemunculan Syiah di mulai sejak pemerintahan Utsman bin Affan hingga awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Beberapa kelompok dari kaum muslimin menganggap Ali lebih utama daripada Utsman untuk menjadi Khalifah. Perbedaan ini mulanya hanya sebatas perbedaan pandangan mengenai afdholiyah (keutamaan masing-masing), namun semakin lama perbedaaan pandangan ini memunculkan perselisihan. Puncak dari perselisihan ini terjadi ketika kegagalan perundingan antara Ali dan Mu’awiyah di perang Shiffin. Orang-orang yang keluar dari kepemimpinan Ali dan Mu’awiyyah disebut Khawarij, sedangkan mereka yang tetap mendukung Ali di sebut Syiah.
Pemikiran Syiah berangsur menjadi sebuah paham kesasatan yang tidak terlepas dari peran Abdullah bin Saba’ seorang tokoh Yahudi, ditopang dengan pendukung Ali radhiyallahu ‘anhu yang telah tersakiti dengan sikap Mu’awiyah, rasa dendam atas penyerahan kekhalifan kepadanya oleh Hasan, pembunuhan Husain  di tanah Karbala yang selalu diperingati setiap 10 Muharram, serta tersingkirnya kepemimpinan Ahlu Bait oleh dinasti Bani Umayyah. Peristiwa-perintiwa inilah yang memunculkan paham ghuluw (berlebih lebihan terhadap ahlul Bait) hingga menjadikan kelompok ini satu sekte yang membahayakan. (lihat:Nashir Ibn Abdullah Ibn Ali al-Qhafari, Ushul Madzhab as-Syiah al-Imamiyah al-Itsna ‘asyariyah)


   B. Sejarah Syi'ah



Terdapat beberapa pendapat mengenai sejarah kemunculan Syiah. Ada yang menganggap Syi'ah lahir pada masa akhir kekhalifahan Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu terjadi pemberontakan terhadap khalifah Utsman bin Affan, yang berakhir dengan kesyahidan Utsman serta ada tuntutan umat agar Alibin Abi Thalib bersedia dibaiat sebagai khalifah. Setelah penunjukkan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang ke empat terjadilah perselisihan antara beliau dengan Mu’awiyah hingga terjadi pertumpahan darah di Perang Shiffin.
Pendapat yang paling masyhur tentang kemunculan Syiah yaitu, bahwa Syi'ah muncul setelah gagalnya perundingan(tahkim) antara pihak pasukan khalifah Ali dengan pihak Mu'awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang disebut sebagai peristiwa at-Tahkim (perundingan). Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali menentang kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Sebagian besar orang yang tetap setia kepada khalifah disebut Syi'ah Ali (Pengikut Ali).
Istilah Syi'ah pada era kekhalifahan Ali hanyalah bermakna pembelaan dan dukungan politik. Syi'ah Ali yang muncul pertama kali pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, pembelaan ini  hanyalah bersifat  kultural, bukan bercorak akidah seperti yang dikenal pada masa sesudahnya hingga sekarang, Sebab para sahabat yang mendukung Ali tidak ada yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib  lebih utama dan lebih berhak atas kekhalifahan setelah Rasulullah Saw. dari pada Abu Bakr  dan Umar bin Khattab. Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri, saat menjadi khalifah, menegaskan dari atas mimbar masjid Kufah ketika berkhutbah:
"Sebaik-baik umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW adalah Abu Bakr dan Umar” (Diriwayatkan Musnad Imam Ahmad no 836, Syuaib Arnuth meng atakan sanadnya kuat)
C.            Persoalan Imamah (kepemimpinan)
Kendatipun persoalan imamah menjadi pokok keimanan Syi'ah, tetapi ternyata  terjadi perbedaan dan perselisihan dalam tubuh Syi'ah, terutama pada penentuan siapakah yang menjadi imam. Al-Hasan bin Musa an-Naubakhti, seorang ulama Syi'ah menuturkan dalam kitab Firoq Syi'ah(hal. 19-109), bahwa Syi'ah terpecah menjadi 3 golongan:
Pertama, kelompok yang berpendapat Ali tidak mati terbunuh bahkan tidak akan mati, sampai ia menegakkan keadilan di dunia. Inilah kelompok ekstrim (ghuluw) pertama. Kelompok ini disebut Syi'ah as-Saba'iyah, yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba'. Mereka adalah kelompok yang terang-terangan mencaci serta berlepas diri (bara'ah) dari Abu Bakar, Umar dan Utsman serta para sahabat Rasulullah. Mereka mengaku Ali-lah yang menyuruh mereka untuk melakukan hal tersebutMaka ketika dipanggil oleh Ali mereka tidak bisa menghindari kesalahannya. Hampir saja Ali menghukum mati terhadap Abdullah bin Saba', namun karena pertimbangan beberapa orang, beliau hanya mengusir Abdullah bin Saba' ke Madain. 7 Menurut Naubakhti, Abdullah bin Saba' asalnya beragama Yahudi. Ketika masuk Islam, ia mendukung Ali. Dia lah orang pertama yang terang- terangan mengisukan kewajiban imamahnya Ali sertaberlepasdiri dari musuh-musuhnya. Dijelaskan pula, bahwa ketika Abdullah bin Saba'masih beragama Yahudi pernah mempopulerkan pendapat bahwa Yusa' bin Nun adalah pelanjut Nabi Musa. Maka ketika masuk Islam, ia pun berpen- dapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pelanjut Nabi Muhammad. Faktor inilah yang membuat orang menuduh bahwa sumber ajaran Syi'ah berasal dari Yahudi. Penjelasan an-Naubakhti ini sekaligus merupakan jawaban terhadap kalangan Syi'ah serta pendukungnya, yang mengklaim bahwa Abdullah bin Saba' hanya tokoh fiktif (tokoh buatan), ciptaan kalangan Ahlus sunnah, yang sumber utamanya dari at-Thabary melalui satu-satunya jalur Saif bin Umar al- Tamimy yang dinilai dha'if. Di antara tokoh yang menyatakan bahwa Abdullah bin Saba' sebagai tokoh fiktif adalah Murtadha 'Askan danThaha Husain, (lihat:Ensiklopedi Islam jilid 5)
Kedua, Kelompok yang berpendapat, imam pengganti sesudah Ali bin Abi Thalib wafat adalah puteranya, Muhammad bin al-Hanafiah, karena dia yang dipercaya membawa panji ayahnya, Ali, dalam peperangan di Bashrah.Mereka mengkafirkan siapapun yang melangkahi Ali dalam imamah, juga mengkafirkan siapapun yang mengikuti perang  Shiffin dan perang Jamal. Kelompok ini disebut al-Kaisaniyyah.
Ketiga, kelompok ini berkeyakinan bahwa setelah Ali wafat, imam sesudahnya adalah puteranya Hasan. Ketika Hasan menyerahkan khilafah kepada Mu'awiyah bin Abi Sufyan, mereka memindahkan imamah kepada Husain, sebagian mereka mencela Hasan, bahkan al-Jarrah bin Sinan al-Anshari pernah menuduhnya sebagai musyrik.
Tetapi sebagian Syi'ah berpendapat bahwa sesudah wafatnya Hasan, maka yang menjadi imam adalah puteranya yaitu Hasan bin Hasan yang bergelar ar-Ridha dari keluarga Muhammad. Menurut al-Isfahani, dia bersama Ali bin Husain Zainal Abidin serta Umar bin Hasan dan Zaid bin Hasan adalah cucu-cucu Ali bin Abi Thalib yang menyertai Husain pada peristiwa Karbala, dimana mereka semua selamat dari pembunuhan Karbala.
Fakta sejarah ini sekaligus membantah informasi yang menyebutkan bahwa satu-satunya keturunan laki- laki Rasulullah SAW atau keturunan laki-laki Ali yang selamat dari pembantaian Karbala hanyalah Ali bin Husain Zainal Abidin saja. Fakta historis tentang adanya perbedaan pendapat bahkan perselisihan internal Syi'ah pada setiap level imam ini, selain disebutkan oleh kalangan Syi'ah sendiri (Naubakhti) juga di- sebutkan oleh Fakhruddin Ar-Razi. Beliau menulis, "Ketahuilah bahwa adanya perbedaan yang sangat besar seperti yang sudah dijelaskan di atas, merupakansatu bukti konkret tentang tidak adanya wasiat teks penunjukkan yang jelas tentang dua belas Imam seperti yang mereka klaim. (Fakhrudin ar Razi: kitab al-Muhashol).
Menurut Musa al-Musawi, salah seorang tokoh Syi'ah kontemporer, terjadinya penyimpangan dalam ideologi Syi'ah karena munculnya klaim bahwa khalifah sesudah Rasulullah Saw. adalah Ali bin Abi Thalib berdasarkan Nash Ilahi yaitu perintah langsung dari Allah,dimana para sahabattelah menyalahi perintah Allah ketika membai'at Abu Bakar.
Sebab lainnya adalah muncul ideologi percaya/imanterhadap imamah sebagai penyempurna Islam, seperti dalam konsep Syi'ah Itsna 'Asyariyah. Sampai saat ini, kelompok Syi'ah Itsna 'Asyariyah (yang mempercayai Duabelas imam) merupakan aliran terbesar Syi'ah. Diantara para Imam tersebutyaitu:
Ali bin Abi Thalib (41 H/661 M)- Hasan bin Ali bin Abi Thalib (49 H/669 M) - Husain bin Ali bin Abi Thalib (61 H/680 M)- Ali bin al-Husain Zainal Abidin (94 H/712 M) - Muhammad bin Ali al-Baqir (113 H/731 M)- Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq (146 H/765 M) – Musa bin Ja'far al-Kazhim (128 H-203 H )- Ali bin Musa ar-Ridha (203 H/818 M )- Muhammad bin Ali al-Jawwad  (221 H/835 M ) - Ali bin Muhammad bin Ali (254 H/868 M)- Hasan bin Ali bin Muhammad al askari (260 H/874 M )- Muhammad bin al-Hasan al askari /al-Mahdi al-Muntadzar
Aliran ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan dua belas orang imam sebagai penerusnya, dimana Imam Mahdi (yaitu Muhammad bin Hasan) yang ditunggu-tunggu merupakan Imam terakhir di akhir zaman. Dimana ia telah menghilang pada tahun 329 H dan belum muncul kembali sampai saat ini (lihat: Asyraf al-Jaizawi: Aqoid as-Syiah…)

D.     Pembahasan
Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa pada Jumadil Akhir 1404 H/ Maret 1984 tentang kesesatan Syiah, termasuk fatwa lainnya pada Jumadil Akhir 1418 H/Oktober 1997 tentang nikah Mut’ah. Kedua fatwa tersebut dipertegas dengan diterbitkannya buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” oleh MUI yang mengurai tentang sejarah, penyimpangan dan pengerakan Syiah di Indonesia, serta sikap resmi MUI tentang faham Syiah. Buku ini menjawab pertanyaan besar tentang ajaran ini yaitu; Mengapa ajaran Syiah dinilai Sesat?
1.      Dasar kesesatan Syiah bersumber pada kitab rujukan utama mereka dalam hal periwayatan hadits, yaitu kitab Al-Kafi, sedangkan dalam tafsir mereka merujuk pada kitab tafsir Al-Qumi. Di dalam kitab-kitab inilah akan ditemukan penyelewengan mendasar dalam ajaran Syiah. Diantaranya yaitu Penyimpangan faham tentang orisinalitas (keaslian) al-Qur’an. Menurut seorang ulama Syiah dalam kitab Awail al-Maqalat , menyatakan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini sudah tidak orisinil. Tokoh Syiah lain dalam Mir’atu al-Uqul menyatakan bahwa al-Qur’an telah mengalami pengurangan dan perubahan. Padahal para ulama menyatakan dengan tegas bahwa al-Qur’an yang dipegang dan diamalkan umat islam saat ini diseluruh dunia adalah asli, tidak ada pengurangan maupun penambahan:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah:3)
2.      Penyimpangan faham tentang ahlul Bait dan mengkafirkan para sahabat Nabi Saw.
Ni’matullah al-Jazairi (Ulama Syiah) berkata, bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khatab tidak pernah beriman kepada Rasulullah Saw. sampai akhir hayatnya. Ulama Syiah lainnya al-Kulaini mengatakan, bahwa seluruh sahabat itu murtad setelah Nabi Saw. wafat kecuali tiga orang, Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi. Sementara al-Isyasyi mengatakan dalam tafsirnya, serta al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar bahwa meninggalnya Rasulullah Saw. karena telah diracun oleh Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anhuma.
3.      Penyimpangan faham Syiah yang mengkafirkan umat Islam (Sunni)
Al-Kulaini berkata, bahwa orang yang menganggap Abu Bakar dan Umar bin Khatab muslim, tidak akan ditengok oleh Allah kelak dihari kiamat dan akan mendapatkan siksa yang pedih. Padahal mayoritas umat islam di dunia meyakini kesalehan para sahabat, hal ini tidak lain karena umat islam tidak meyakini rukun Imamah. Menurut jumhur ulama Syiah Imamiyah, percaya kepada imamah adalah salah satu pokok agama islam. Jika seseorang tidak mengimani imamah (kepemimpinan ali dan keturunannya) maka ia telah kafir kepada Allah.
4.      Penyimpangan faham Syiah tentang hukum nikah Mut’ah
Menurut Syiah, nikah Mut’ah (kawin kontrak) boleh, bahkan mendapatkan pahala besar. Dalam publikasi Syi’ah dituliskan, “Nikah Mut’ah disyariatkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, semua ulama -apapun madzhabnya- sepakat bahwa nikah Mut’ah pernah dihalalkan di zaman Nabi Saw. Nuri al-Tabarsi menjelaskan, bahwa dalam nikah Mut’ah boleh dengan wanita bersuami asal dia mengaku tidak bersuami, bahkan menurut Khumaini, nikah Mut’ah boleh dilakukan dengan bayi yang masih menyusui (lihat: Tahrir al-Wasilah)
E.    Pendapat Ulama
Imam Syafi’i berkata; Saya tidak pernah melihat seorang pun dari para pengikut hawa nafsu yang paling banyak berdusta dalam dakwaannya dan yang paling banyak bersaksi palsu daripada Syiah rafidhoh.
Imam Ahmad bin Hambal berkata; siapa yang mencaci sahabat saya khawatir dirinya berada pada kekafiran. Allah ta’ala a’lam






0 komentar:

Posting Komentar

Kategori

Berita Terbaru

Blog Archive