Senin, 28 Oktober 2019



Syariat Islam. Untuk Apa Diturunkan? 

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah ikuti setiap jejak langkah setan. Sesungguhnya setan adalah benar-benar musuh bagimu” (QS. Al Baqarah: 208)
Perintah dalam ayat tersebut bersifat wajib. Karena pada dasarnya setiap lafadz dalam Al Quran dan Hadits yang berbentuk amr/perintah adalah wajib sampai datang dalil lain yang merubah status hukum wajib tadi. Artinya, penolakan terhadap kewajiban itu akan berefek dosa dan punishment bagi pelakunya dari Sang Pemberi titah, Allah Subhanahu wa ta’ala, dan reward/pahala bagi yang melakukan perintah itu.
Ayat tersebut memberikan kandungan yang sangat luas dari semua aspek yang selalu bersentuhan dalam setiap aktivitas kehidupan kita sebagai pelakunya. Di sana mencakup aspek keimanan yang disebut sebagai aqidah dan ia merupakan pondasi dari segala bentuk amalan dzahir. Jika ada ibadah yang seorang hamba lakukan, maka ada unsur penting yang mendahului ibadah dzahir tadi, yaitu niat ikhlas, niat yang hanya ditujukan untuk Sang Khaliq, bukan makhluk. Jika seseorang hendak shalat, maka sudah harus dipastikan bahwa syahadatain yang mencakup amalan hati dan dzahir sudah terpenuhi. Maka, melaksanakan semua perintah yang Allah tetapkan, dan meninggalkan semua laranganNya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari intisari ayat tersebut. Dan pelajaran aqidah inilah yang Rasulullah dakwahkan kepada masyarakat Arab di Mekah saat itu sebelum menerima perintah hukum di Madinah.
***
Al-Hakim adalah salah satu dari Asmaullah Al-Husna yang berarti Maha Bijaksana. Kata tersebut termaktub dalam Al Quran lebih dari 90 kali, dengan maksud bahwa Ia Maha Bijaksana terhadap apa yang Ia ciptakan, Ia tak mungkin menciptakan sesuatu dengan sia-sia, Allah mengharamkan sesuatu karena ada sebab dan hikmahnya, sebagaimana hikmah di balik kewajiban yang Allah tetapkan dengan kandungan hikmah yang terus-menerus bisa digali sampai ujung logika manusia yang memiliki batas tidak bisa lagi menjangkaunya. Maka Ia tak mungkin mensyariatkan sesuatu kecuali ada kandungan hikmah dan keuntungan yang akan dirasakan oleh setiap manusia juga madharat yang ditimbulkan dari larangan yang sudah Ia tetapkan. Di sini, peran iman seseorang untuk mendahului segalanya dan mempercayai hal tersebut tanpa memberikan pertanyaan ’kenapa?’, seperti rakyat yang mendapat titah raja. Maka, sikap para Shahabiyah radhiyallahu ‘anhunna adalah pelajaran berharga dari unsur kesempurnaan iman, ketika mereka menarik selimut untuk berhijab dengannya saat Allah turunkan perintah untuk berhijab[1], tanpa didahului dengan pertanyaan “Why? Untuk apa?”.
***
Allah Subhanahu wa ta’ala mengutus Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi, pelengkap syariat sebelumnya yang berfungsi sebagai penyempurna.
Syariat-syariat yang diturunkan secara estafet sejak Nabi Nuh ‘alaihissalam memberi sebuah perintah yang Allah terangkan dalam Surat As-Syura: 13. Syariat yang Allah turunkan melalui utusanNya yang terakhir -Muhammad Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam- dirumuskan oleh para Ulama dengan memiliki tujuan yang dikenal dengan istilah Maqaashid As-Syariah (tujuan diturunkannya Syariat).
***
Tulisan tentang hal ini sudah lama dibahas oleh para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Maqashid As-Syariah ‘inda Ibn Taimiyah; Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badawi) dan muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (I’lamul Muwaqqi’in), juga Imam As-Syathibi (Al-Muwafaqaat), dan Ibnu Asyuur (Maqashid As-Syariah Al-Islamiyyah). Ulama dari India Syah Waliyullah Ad-Dahlawy (Hujjatullah Al-Balighah) juga memberikan pemaparan tentang hal itu.
Ada 5 tujuan Syariat Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan:
1.      Menjaga eksistensi Islam.
2.      Menjaga jiwa/nyawa seseorang.
3.      Menjaga akal.
4.      Memelihara keturunan dan kehormatan, dan
5.      Memelihara harta.
Dan kelimanya adalah hak asasi manusia sejak mereka dilahirkan.
Zulfi



[1] Surat An-Nuur: 31. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Asiyah radhiyallahu ‘anha.

Minggu, 27 Oktober 2019


Jika Engkau Mencintai Allah

Termasuk salah satu nikmat agung yang wajib disyukuri setiap Muslim adalah kesempatan yang Allah berikan untuk melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Bulan yang dipilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an petunjuk bagi manusia, bulan di saat pintu surga dibuka sedangkan pintu neraka ditutup dan setanpun dibelenggu sebagai tanda kemulian bulan ini. Bulan yang didalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu malam Lailatul qadr.
Di dalam agama Islam, Iman seorang Muslim itu mencakup keyakinan dalam hati, pangakuan dengan lisan, dan beramal dengan anggota badan. Iman bukanlah pengakuan tanpa bukti, bukan pula ucapan tanpa amalan. Begitu juga dengan pengakuan cinta kepada Sang maha pencipta, Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
 katakanlah (muhammad), jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha pengampun, Maha penyayang.” (Qs. Ali-Imran:31)
Ada beberapa pendapat ahlu tafsir tentang sebab turunnya (Asbabun Nuzul) ayat di atas:
Pertama: diriwayatkan At-thobari, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Haatim dari Al-hasan dari beberapa jalan periwayatan, berkata: ada beberapa kaum pada zaman nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam berkata: Demi Allah wahai muhammad !! kami benar-benar mencintai Rab kami, maka Allah menurunkan Ayat tersebut. Diriwayatkan juga oleh At-thobari dan Ibnu Mundzir dari Ibnu Juraij seperti itu. Dalam riwayat ini tidak disebutkan nama kaum yang ayat ini turun kepada mereka.
Kedua: diriwayatkan At-thobari dan Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Ja’far bin Az-zubair, berkata: ayat ini diturunkan kepada Nasrani Najran karena mereka berkata: sesungguhnya kami mengagungkan Al masih dan menyembahnya karena cinta kepada Allah dan sebagai bentuk pengagungan kepadanya. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai bantahan mereka. Riwayat ini menunjukan jika ayat ini turun kepada Nasrani Najran. Mereka mengirim utusan kepada Nabi bertanya tentang masalah yang berkaitan dengan Isa Alaihissalam, saat itu mereka mengakui cinta kepada Allah,,, maka Allah turunkan ayat sebagai ujian atas ucapan mereka dan sebagai penjelas masalah mereka.
Ketiga: diriwayatkan Al Wahidy dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma berkata: Nabi Shalallahu alaihi wa sallam berhenti dihadapan kaum Quraisy yang sedang berada di Masjidil Haram. Mereka sedang membangun berhala mereka, mengalungkan diatasnya telur unta, dan meletakkan anting-anting di telinganya, kemudian mereka bersujud kepadanya. Maka nabi berkata: wahai kaum Quraisy, kalian telah menyelisihi agama bapak kalian Ibrahim dan Ismail, mereka adalah seorang Muslim. Mereka menjawab: hai Muhammad!! Sesungguhnya kami menyembah ini karena cinta kepada Allah, untuk mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Maka Allah menurunkan: {قل إن كنتم تحبون الله} dan jika kalian menyembah Allah untuk mendekatkan diri kalian kepadanya {فاتبعوني يحببكم الله} aku adalah utusan-Nya kepada kalian, dan hujjah atas kalian, dan lebih berhak dihormati dari berhala kalian. Riwayat ketiga ini menjelaskan bahwa ayat ini turun kepada Quraisy kaum Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam.
Keempat: diriwayatkan Al Wahidy dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma, kaum Yahudi ketika berkata, “sesungguhnya kami adalah anak Allah dan kekasihNya.(Qs. Al-Maidah:18)” Maka Allah menurunkan ayat ini. Kemudian Nabi menyampaikannya kepada mereka, tetapi mereka enggan menerimanya.
Dari keempat riwayat di atas. Riwayat kedua adalah kemungkinan riwayat paling kuat diantara yang lain, karena ayat ini turun di madinah dan utusan Najran datang kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam saat beliau berada di Madinah. Imam At-thobari dan Al Qurthubi juga memilih riwayat ini sebagai Asbabun nuzul ayat.
Ayat dalam surat Ali Imron tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad untuk menjawab utusan Nasrani Najran: jika kalian sebagaimana yang kalian akui bahwa kalian mencintai Allah, mengagungkan Al Masih sebagai rasa cinta kepada Rabb kalian. Maka buktikanlah perkataan kalian jika kalian benar-benar jujur dengan kalian mengikuti diriku. Sesungguhnya kalian mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah kepadamu, sebagaimana Isa utusan kepada yang diutus. Sungguh jika kalian mengikutiku dan membenarkanku dengan segala yang datang dari Allah kepadaku, Allah akan mengampuni dosa kalian, menghindarkan dari adzab, memaafkan dosa yang lalu, Sungguh Dialah yang Maha mengampuni dosa orang Mu’min, Maha pengasih kepada mereka dan makhluk-Nya yang lain.
Ibnu Katsir berkata: ayat ini adalah penentu bagi siapa saja yang mencintai Allah, tetapi tidak mengikuti jalan hidup Muhammad, sesungguhnya dia berdusta dalam pengakuannya hingga mengikuti syari’at Muhammad dan Agama Nabi (Islam) dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadist shohih Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa berbuat suatu amalan yang tidak ada tuntunan dari kami, maka amalan itu akan tertolak. (Muttafaq alaihi)”
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu : "Setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan. Mereka (para sahabat) bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan masuk surga itu?' beliau menjawab, "Siapa yang mentaatiku ia masuk surga dan siapa yang mendurhakaiku sungguh ia telah enggan." (HR. Al-Bukhari)
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita sebagai seorang Muslim yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa ta’ala untuk berusaha mengikuti segala apa yang dibawa oleh Rasulullah sebagai bukti cinta kita kepada-Nya. Karena orang yang mencintai akan selalu mentaati siapa yang dicintainya. Wallahu A’lam

 Ihsani






Ummu Salamah

Disela-sela kita mengkaji sirah tentang kehebatan kehidupan insan agung bernama Muhammad bin Abdulllah Shalallahu Alaihi Wasalam, Nabi dan Rasul terakhir  utusan Allah kepada kita. Ataupun kesetiaan Abu Bakar As-siddiq, ketegasan Umar Al-Khatab dan kisah Sayyidina Ali yang bersemangat, disana terselip kisah-kisah wanita hebat di zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Mungkin kisah-kisah sahabiyah ini jarang kita dengar, namun dibalik kisah sahabiyah ini terselip seribu satu hikmah dan pelajaran untuk menjadi contoh nyata  bagi yang mendambakan surga dan ridha Allah. Kali ini sedikit mari kita melirik  kisah Ummu Salamah Radhiyallahu Anha. Wanita yang kesabaran dan ketabahannya membuahkan balasan yang agung.

     Imam Adz-Dzahabi menjelaskan identitas Ummu Salamah:
“ Ummu Salamah adalah wanita terhormat, berhijab dan suci. Namanya Hind binti Abu Umayyah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah Al-Makhzumiyah. Ummu Salamah merupakan sepupu  Khalid bin Walid yang digelari Pedang Allah dan Abu Jahal bin Hisyam. Dia termasuk wanita yang pertama kali berhijrah. Sebelum menjadi isteri Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam, Ummu Salamah menikah dengan Abu Salamah bin Abdul Asad Aal-Makhzumi, seorang lelaki yang soleh.”

            Mari kita melirik sejenak kehidupan Ummu Salamah sebelum kedatangan islam. Ummu Salamah adalah seorang wanita yang sangat terhormat dan mulia. Berasal dari keluarga yang terhormat kerena beliau berasal dari bani Makhzum. Ayahnya juga adalah seorang tokoh Quraisy yang dermawan dan pemurah dan selalu memberi bekal kepada musafir yang kehabisan bekal. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang dermawan membuat Ummu Salamah menjadi seorang yang dermawan, mempunyai hati yang bersih serta sangat memahami  arti belas kasih sehingga memancarlah kebaikan dan kemurahan hatinya kepada manusia.

            Sejak kecil Ummu Salamah sudah menampakkan keperibadian yang kuat untuk menjadi wanita terhormat. Beliau juga memiliki rupa paras yang cantik jelita. Setelah  dewasa, Ummu Salamah dipinang oleh Abdullah (Abu Salamah) bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Abu Salamah merupakan seorang pemuda Quraisy yang terkenal dengan kepiawaian beliau menunggang kuda. Beliau juga merupakan saudara  sesusuan Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam. Pernikahan Hindun (Ummu Salamah) dan Abu Salamah dilangsungkan dan mereka hidup bahagia. Setelah Islam tersebar di Mekah, Ummu Salamah dan suaminya termasuk di antara orang-orang awal yang mengikrarkan iman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

            Ketika hendak berhijrah ke Madinah, Ummu Salamah dan suaminya mengalami peristiwa yang amat memilukan. Ketika Abu Salamah, Ummu Salamah dan putera mereka, Salamah bin Abu Salamah sedang mempersipkan bekal menuju ke Madinah, terjadilah perselisihan antara keluarga bani Asad dan Bani Mughirah. Keluarga bani Mughirah (keluarga Ummu Salamah) tidak mengizinkan Abu Salamah membawa Ummu Salamah hijrah ke Madinah oleh karena larangan tersebut  Bani Asad (keluarga Abu Salamah) mengambil kebijakan bahwa anak mereka (Salamah) harus ikut bersama bani Asad, maka Abu Salamah pun melanjutkan perjalanannya hijrah ke Madinah. Adapun  Ummu Salamah dibawa pulang oleh keluarganya (Bani Mughirah) yang akhirnya harus terpisah dari anak dan suaminya. Namun begitu Ummu Salamah diberi kesabaran yang tinggi untuk terus sabar melalui ujian itu. Sejak terpisah dengan suami dan anaknya, setiap pagi Ummu Salamah pergi ke tanah lapang dan duduk sambil menangis. Hal itu dilakukan selama setahun sehingga pada suatu hari salah seorang sepupunya dari Bani Mughirah melihatnya dan berkata kepada keluarga Bani Mughirah yang lainnya:

Tidakkah kalian merasa simpati terhadap wanita malang itu? Kalian telah memisahkannya dari suami dan anaknya

Tidak lama setelah itu keluarga bani Mughirah mengizinkan Ummu Salamah untuk bertemu suaminya di Madinah. Keluarga Bani Asad pun mengembalikan puteranya Salamah kepada Ummu Salamah. Lalu Ummu Salamah berangkat bersama puteranya keluar bertemu suaminya. Beliau memulai perjalanan sendirian dan hanya ditemani puteranya yang masih kecil, dan hanya berbekal  tawakkal kepada Allah yang melebihi segala-galanya. Di dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Utsman bin Thalhah dan Utsman membantu perjalanannya sehingga beliau bertemu dengan suami tercinta, Abu Salamah. Setelah bertemu dengan suaminya di Madinah, Ummu Salamah hidup bahagia dan dapat beribadah dengan tenang dan bertaqwa serta menggali setiap bentuk kebaikan daripada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Ummu Salamah berusaha keras mendidik empat anaknya (Zainab, Umar, Salamah dan Durrah) dengan menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah.

            Ummu Salamah sangat mendukung setiap aktivitas suaminya untuk berjuang di medan jihad. Beliau setia menyembuhkan luka-luka pada badan suaminya seusai peperangan, hingga suatu waktu suaminya mengalami luka parah pada perang Uhud. Ketika Abu Salamah terbaring menanti detik kematian, terjadilah percakapan yang sangat mengharukan antara Abu Salamah dan Ummu Salamah. Ziyad bin Abu Maryam menuturkan, saat itu Ummu Salamah berkata,
“Aku mendengar bahwa jika seorang isteri ditinggal mati oleh suaminya, sementara suaminya itu menjadi penghuni surga, lalu isterinya tidak menikah lagi, maka Allah akan mengumpulkan mereka kembali di dalam surga. Karena itu aku bersumpah bahwa engkau tidak akan menikah lagi (seandainya aku yang mati terlebih dahulu) dan aku tidak akan menikah lagi setelah engkau mati.”

Abu Salamah berkata, “Apakah engkau akan taat kepadaku?”
Ummu Salamah menjawab, “ya”.
Abu Salamah berkata, “Kalau begitu jika aku mati terlebih dahulu maka menikahlah lagi. Ya Allah, jika aku mati maka berilah Ummu Salamah seorang suami yang lebih baik dariku yang tidak akan membuatnya sedih dan tidak akan menyakitinya.”

            Tidak lama setelah itu, Abu Salamah meninggal dunia. Allah pun mengabulkan doa Abu Salamah  yang mana Allah mendatangkan insan paling mulia kepada Ummu Salamah. Setelah kematian suaminya, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam datang dan meminang Ummu Salamah. Ummu Salamah menikah dengan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam dan termasuk dalam keluarga yang mulia lagi suci. Betapa Allah telah memuliakan Ummu Salamah dengan kemuliaan yang melebihi kemewahan dunia dan seluruh isinya. Ummu Salamah menjalani kehidupan yang sangat bahagia dan barakah bersama Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Ummu Salamah menjadi seorang isteri yang sangat baik kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Beliau banyak membantu dakwah Rasulullah, terlebih lagi karena Allah memberikan kepada Ummu Salamah kecerdasan.

      Diceritakan dalam satu kisah ketika perjanjian Hudaibiyah, setelah selesai menandatangani perjanjian damai dengan kaum musyrik, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam  berkata kepada para sahabatnya,

  Bersiap-siaplah, sembelihlah hewan-hewan korban kalian dan cukurlah rambut kalian

Namun, saat itu tidak ada seorang pun sahabat yang berdiri dan melaksanakan perintah baginda Shalallahu Alaihi Wasallam walaupun perintah itu diulang sebanyak tiga kali oleh Rasulullah. Melihat tidak ada tindakan dari pihak sahabatnya, maka masuklah Rasulullah ke tenda dan menemui Ummu Salamah, lalu menceritakan kejadian tersebut. Di sinilah Ummu Salamah memainkan peranannya dengan baik sekali. Wanita yang punya pemikiran yang hebat ini menyelamatkan para sahabat dari kemarahan  Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Ummu Salamah berkata:

Wahai Nabi Allah, apakah engkau ingin sahabat-sahabatmu mengerjakan perintahmu? Keluarlah dan jangan berbicara dengan siapa pun sebelum engkau menyembelih hewan kurbanmu dan memanggil pencukur untuk mencukur rambutmu

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam mengikut saran Ummu Salamah. Baginda keluar tanpa berbicara dengan siapa pun lalu menyembelih hewan kurbannya serta mencukur rambutnya. Ketika para sahabat melihat tindakan baginda, para sahabat lantas bangkit dan menyembelih hewan korban mereka serta mencukur rambut mereka.

            Ummu Salamah juga sangat menyayangi orang-orang yang ada disekelilingnya. Beliau akan sentiasa bahagia jika dapat memberi kabar gembira kepada orang sekelilingnya. Beliau juga yang menyampaikan kabar kepada Abu Lubabah bahwa Allah telah menerima taubatnya. Ummu Salamah juga pernah membujuk Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam untuk memaafkan Abu Sufyan bin Harits dan Abdullah bin Abu Umayyah. Ketika mereka berdua ingin menemui Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam di Abwa’, mereka berusaha mengadap baginda namun ketika melihat kedatangan mereka, Rasulullah lantas memalingkan muka karena tidak dapat menerima perlakuan mereka selama ini yang sangat menyakitkan baginda Shalallahu Alaihi Wasallam. Namun Ummu Salamah membujuk Rasulullah dengan berkata:

“Wahai Rasulullah bagaimanapun mereka bukanlah orang yang paling menyakitimu selama ini

            Imam Adz-Dzahabi menyebut sifat Ummu Salamah:

Dia dianggap salah seorang ulama generasi sahabat”

Bagaimana Ummu Salamah tidak mencapai darjat setinggi itu, setiap saat beliau mendengar langsung bacaan al-quran dari pada Rasulullah dan mendengar kata-kata Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam dari lisan baginda. Ummu Salamah juga menjadi rujukan para sahabat dalam beberapa persoalan hukum dan fatwa, terutama persoalan yang berkaitan dengan wanita. Ummu Salamah juga meriwayat 378 hadits yang dihafalnya dengan baik.

            Ummu Salamah meninggal dunia ketika usianya sekitar 90 tahun dan sempat berada dalam dalam pemerintahan Khulafa’ ar-Rasyidin hingga pemerintahan Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Adz-Dzahabi berkata:

Dia adalah Ummul Mukminin yang paling akhir meninggal dunia

Demikianlah diceritakan kisah hidup wanita agung, Hindun atau yang lebih dikenal dengan nama Ummu Salamah. Betapa kemuliaan akhlaknya, kesucian hatinya dan ketabahannya menjalani ujian kehidupan menjadikan beliau insan yang diagungkan dan ditinggikan derajatnya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sehingga diberi tempat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala menjalani kehidupan yang barakah bersama insan mulia Rasulullah Shalallahu Aalaihi Wasallam. Betapa kematangan pemikiran beliau telah memberikan sumbangsih besar akan keberhasilan dakwah Rasulullah Shalallahu Aalaihi Wasallam. Semoga ketabahan hatinya, kesetiaannya kepada orang-orang yang ia cintai, kesuciaan hatinya, kesungguhannya menerapkan sifat taqwa dalam diri, kesungguhannya menanamkan rasa cinta anak-anaknya kepada Allah dan Rasullah menjadi teladan buat kita yang sentiasa mendamba ridha Ilahi.






Sejarah Wanita dalam Beragam Kebudayaan

Dewasa ini kita sering mendengar di mana-mana mendengung kata feminisme, kesetaraan gender, persamaan hak antara pria dan wanita dan banyak hal yang berkaitan dengannya. Sampai-sampai pun di dunia muslim, para wanita-wanitanya banyak pula yang ikut menyemarakkan hal itu. Sebenarnya bagaimana asal muasal atau sejarah feminisme dan kesetaraan gender itu muncul kita perlu mengetahui sehingga kita tidak salah dalam memahami dan ambil sikap. Karena memang wanita ini adalah sosok yang spesial di setiap kebudayaan dan peradaban.

                Jika kita melihat kebudayaan yunani kuno, kedudukan wanita itu sangat rendah dan mengenaskan. Mereka hanya di gambarkan sebagai penduduk kelas dua yang hanya di gunakan sebagai eksploitasi yang berhubungan dengan seks. Banyak dibuat patung-patung wanita telanjang yang seksi dan cantik. Di peradaban ini wanita memainkan peranan penting, tapi juga digunakan sebagai simpanan makanya wajar di Yunani orang-orang banyak membuat patung wanita layaknya wanita simpanan. Karena hal ini di contohkan oleh dewa mereka sendiri yang memiliki wanita simpanan atau selingkuhan. Jadi wajar dan biasa kalau manusia selingkuh karena dewanya pun mencontohkan selingkuh. Banyak sekali kisah para dewa mereka yang menceritakan perselingkuhan wanita. Mulai dari kisah Dewa Zeus yang beristrikan Dewi Hera yang memiliki banyak anak. Tapi Dewa Zeus ini masih merasa belum cukup sehingga banyak berselingkuhlah dengan manusia maka lahir lah manusia-manusia setengah dewa, salah satunya adalah Hercules dan Perseus. Kemudian ada juga kisah dewi kecantikan sejagat Dewi Aphrodite. Dewi Aphrodite ini awalnya dinikahkan dengan saudara Dewa Zeus, yakni Dewa Hefaistus dewa pande besi. Dewa yang kerjanya membuat senjata di bawah bumi ini ternyata sangat buruk rupa, sehingga Dewi Aphrodite pun merasa tidak puas dan mencari selingkuhan yakni Dewa Ares si dewa perang. Jadi di kebudayaan yunani ini wanita kerjaanya sangat jelas hanya mengekspoliatasi kecantikan dan keseksian diri serta berperan untuk selingkuh dan diselingkuhi saja yang intinya hanya sebagai  tempat pemuas hasrat seks belaka.

                Lalu kita berpindah di kebudayaan India. Di kebudayaan ini wanita sama saja dan lebih mengenaskan. Kedudukan mereka hanya dianggap sebagai manusia rendahan yang memiliki hak hidup selama suaminya hidup. Maka di India ada tradisi yang bernama Sadhi. Tradisi sadhi adalah tradisi hindu dimana jika seorang wanita telah menikah kemudian suaminya meninggal maka hak hidup sang wanita pun habis dan harus ikut dibakar bersama sang suami. Dan saat ini tradisi ini pun masih di lakukan di beberapa tempat di India. Dan itulah hak hidup wanita-wanita dalam tradisi hindu. Kemudian kita berpindah kepada tradisi budaya yahudi. Dalam kitab mereka Talmud seorang lelaki diwajibkan berdoa dalam 24 jam dengan doa “terima kasih tuhan karena engkau tidak menjadikanku seorang wanita atau budak belia”. Dalam ayat ini menggambarkan bahwa wanita hanya sebagai kutukan belaka, karena sang lelaki yang berdoa bersyukur tidak diciptakan sebagai wanita. Kemudian juga masih dalam Talmud disebutkan bahwa “bila seorang lelaki dewasa bersetubuh dengan anak perempuan maka tidak mengapa”. Jadi wajar kalau perlakuan mereka terhadap wanita itu tidak adil dan merendahkan karena memang di kitabnya banyak sekali mengajarkan tentang hal tersebut.

Kemudian kita lihat dalam tradisi Kristen orang-orang Romawi, kedudukan wanita sama saja rendah dan hanya sebagai objek seks belaka. Mereka orang-orang Romawi merendahkan wanita dengan menggunakan dalil-dalil agama. Seperti contohnya adalah dalil tentang kisah ‘diusirnya’ Adam dan Hawa. Dan sampai saat ini doktrin diusirnya Adam dan Hawa itu masih sering di pakai sehingga umat islam pun keliru dalam memaknainya sehingga ikut-ikutan mengatakan di usir dari surga. Sebenarnya yang mengatakan dan merasa di usir itu adalah orang Kristen saja, dalam islam tidak diusir tapi diturunkan karena memang Allah berkehendak tuk menurunkannya di bumi sebagai khalifatul ardhi. Di dalam injil dalam kasus ini dikisahkan bahwa Hawa memakan buah yang dilarang tuhan kemudian mengajak suaminya Adam memakannya pula sehingga menyebabkan kemurkaan tuhan dan di usirlah mereka dari surga sehingga dalam terminologi Kristen munculah dosa waris. Dosa waris dosa yang diturunkan Adam dan Hawa kepada manusia sampai saat ini. Kisah ini di sebutkan dalam kitab genesis yang berjudul buah kecerdasan. Sehingga dalam pandangan Kristen penyebab diusirnya manusia dari surga adalah wanita, wanita penyebab kutukan tuhan sehingga mendapat murka dan di usir dari surga. Dan berujung pada semua gereja Romawi percaya bahwa wanita adalah perangkap setan yang harus di sucikan dengan disalib dan dibakar. Sehingga saat itu wanita tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan seperti lelaki. Wanita-wanita yang pandai dan berilmu maka disebut penyihir dan harus disucikan dengan dibakar. Wanita ke dudukannya hanya rendah seperti budak belaka.

Maka wajarlah saat ini banyak sekali di barat atau kebudayaan lain muncul gerakan feminisme yang menyuarakan persamaan hak antara pria dan wanita. Karena memang mereka merasa tidak puas dengan kebudayaan yang memiliki latar belakang menggambarkan wanita sangatlah rendah. Dan yang seperti itu semua tidak terjadi dan dialami wanita-wanita dalam islam. Karena memang dalam sejarah-sejarah peradaban islam wanita selalu ditempatkan pada kedudukan yang mulia dan dijunjung kehormatannya dan mereka para wanita muslimah merasa puas karena aturan islam yang memuliakan mereka. Sampai-sampai Allah membuat satu surat khusus yang bernama surat An-Nisa (para wanita). Kemudian juga islam menempatkan wanita tiga kali lebih tinggi dari seorang pria dalam hal penghormatan oleh anak seperti yang disabdakan oleh Rosululloh dalam hadits tentang birrul walidain. Tak hanya itu saja, Allah menurunkan islam kepada seorang lelaki (Rosulullah) tapi yang paling pertama menerima dan menguatkan seruan islam setelah Rosul adalah bukan seorang lelaki melainkan seorang wanita (Khadijah). Jadi sangatlah tidak benar jika wanita-wanita muslim sekarang ikut-ikutan menyuarakan kesetaraan gender pria dan wanita yang banyak di usung wanita-wanita barat. Maka banyak-banyakanlah kita mengambil hikmah yang dicontohkan oleh wanita-wanita muslimah jaman dahulu. Bukan tanpa alasan Allah dan Rosululloh menetapkan beberapa ketetapan yang secara dzohir berbeda bagi wanita dengan pria namun jika ditelaah dan diresapi maka sangatlah rasional dan manusiawi ketetapan tersebut. Karena islam memang adil dalam memberikan ketetapan kepada semua hamba hamba-Nya. Wallahu’alam.
 Zarov




Hiduplah Untuk yang Maha Hidup

Oleh : Irham SB

Bahagia itu tentang perspektif, bagaimana cara pandang kita terhadap apa yang kita sebut dengan kebahagiaan itu sendiri, kalau kita berasumsi bahwa kebahagian adalah melimpahnya harta, maka Bill Gates lah manusia paling bahagia dimuka bumi ini, Bill Gates dengan perusahaannya mampu menghasilkan kekayaan sampai milyaran dollar Amerika, kekayaan melimpah yang dimilikinya membuatnya hampir tidak pernah absen untuk memuncaki dereten orang-orang terkaya didunia. Begitu juga Denmark, salah satu negara dengan rata-rata pendapatan perkapita paling tinggi di dunia, membuat para ekonom dunia menyebutnya salah satu negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi didunia. Atau setelah seseorang memiliki  jauh lebih banyak uang dari yang sanggup ia gunakan, apa lagi yang akan membuatnya lebih bahagia? Bagi mereka yang mempunya mentalitas menguasai jawabanya adalah kekuasaan. Kekuasaanlah yang akan menjadi puncak kebahagiaan menurut mereka. Atau sebagian orang mengatakan bahwa bahagia itu ketika anda mampu menikahi wanita catik, kaya, dan memiliki keluarga yang terpandang di masyarakat, maka itulah yang disebut bahagia. Namun jika cara pandang kita mengenai kebahagian seperti diatas, yaitu hanya sekedar meteri semata, maka kita sebagai muslim telah salah total untuk mendefinisikan kebahagiaan, bahkan kita bisa terjerumus kepada paham meterialis, ego manusia yang hanya menilai segala sesuatu yang bersifat materi.

“ Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiaasannya, pasti Kami beri balasan penuh atas pekerjaannya di dunia dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah mereka, orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu diakhirat kecuali neraka, dan sia-sialah apa yang telah mereka  usahakan didunia dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan ( Hud 15-16)”.

Kebahagian menurut islam adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Kekuasaan, harta melimpah luas, istri cantik, kaya, dan memiliki keluarga terpandang itu semua hanya kebahagiaan yang bersifat wasilah, kebahagiaan yang menjadi sarana kepada kebahagiaan hakiki, yang mana letak kebahagian yang hakiki itu berada pada keistiqomahan kita dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Taala.

“ Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan kehidupan di dunia, dan disisi Allah tempat kembali yang baik. Katakanlah, maukah kau Aku kabarkan yang lebih baik dari demikiaan itu semua?, Bagi orang-orang yang bertaqwa tersedia disisi Tuhan mereka syurga-syurga yang mengalir dibawahnya sungai sugai, mereka kekal di dalamnya , dan pasangan pasangan-yang suci, serta ridha Allah. Dan Allah maha Melihat hamba hambanya. ( Ali Imran 14 – 15)”

Orang yang berbahagia itu, seseorang mukmin yang selalu istiqomah dalam ketaatan Allah dan Rosulnya, maka kebahagian dunia dan akhirat  ganjaran baginya. Di dunia dia dikaruniai oleh Allah untuk dapat berjalan di jalan para nabi, shadiqin, syuhada dan shalihin, juga dijauhkan dari jalan almaghdhubu alaihim yaitu yahudi dan dholin yaitu nashrani. Dan diakhirat pula dia akan dikumpulkan di padang mahsyar bersama para wali- wali Allah dan kelak ditempatkan pada surgaNya.

Orang yang bahagia itu, seseorang yang hidup dibawah naungan Quran dan Sunnah, yang mana hatinya selalu mengingat untuk berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.   

 “ Yaitu orang orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Dan orang beriman dan mengerjakan kebaikan, mereka mandapat kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. ( Ar Ra’d 28-29)”

Maka jika kita mengandai-andaikan kebahagiaan hakiki, sesungguhnya ada pada ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, selalu istiqomah di jalan-Nya, dan berpegang teguh pada sunnah Rosul-Nya, serta memurnikan tauhid kepada-Nya, Maka kita akan merasakan kebahagiaan hakiki, dan puncak dari kebahagiaan ini adalah kita dapat merasakan manisnya iman.

Ibnu Taimiyah pernah berkata “ Surgaku dan kebunku ada di dadaku, dia tidak akan pernah pergi atau lepas dari diriku, sesungguhnya apa yang bisa dilakukan musuh musuhku terhadap diriku?, jika mereka memenjaraiku maka penjara adalah tempatku berkhalwat kepada Robku, jika mereka membunuhku, maka aku akan mati syahid, jika mereka mengasingkan ke suatu wilayah maka sungguh bagiku itu adalah siahah. ”

Dan beginilah puncak kebahagiaan dari seorang mukmin, kata-kata yang tidak mungkin keluar dari mulut seseorang kecuali mereka yang telah merasakan manisnya iman, baginya kebahagiaan hakiki adalah keistiqomahan dalam bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bagaimanapun situasi atau keadaan yang sedang mereka hadapi. Wallahu Alam










Keluarga Penyokong Komponen Ekonomi Islam
Oleh: Zarov

            Kita tahu di zaman ini degradasi moral berada pada puncaknya dan di prediksi akan makin parah kerusakannya jika tidak segera di tanggulangi. Semua jenis kerusakan sudah tersebar di mana-mana tak terkendali mulai dari barat hingga timur tanpa terkecuali. Akhirnya degradasi moral tersebut menyebabkan lini-lini penopang kehidupan masyarakat hancur berantakan. Politik, pendidikan, ekonomi serta yang lainnya terkena imbasnya. Nah ini tugas kita sebagai pemuda penerus ummat dan bangsa untuk mencari solusi dan memperbaiki keadaan di masa depan termasuk permasalahan ekonomi umat islam yang saat ini tengah merosot.

Salah satu imbas dari kerusakan moral adalah melemahnya perekonomian umat karena lemahnya ekistensi moral dapat mengganggu dan merusak institusi-institusi penguat ekonomi. Berangkat dari sinilah ekonomi islam memasukan variabel moral sebagai salah satu variabel penguat sistem ekonomi islam. Pembentukan moral sebagai variabel pondasi ekonomi islam membutuhkan komponen-komponen yang lain untuk menguatkan dan memuluskan variabel tersebut. Komponen pendukung tersebut adalah sosioekonomi. Komponen yang mencakup hubungan sosial dan humanitarian dalam membentuk kekuatan ekonomi. Dalam ekonomi islam hal ini merupakan bagian yang tak bisa di lepaskan, karena visi dari ekonomi islam dalam memaknai prinsip kesejahteraan sangat komperhensif berbeda dengan ekonomi konvensional. DR. Umer Chapra seorang pakar ekonomi islam mengatakan dalam bukunya the future of economic: an Islamic perspective, bahwa makna visi kesejahteraan dalam ekonomi islam sangat dalam. Tak hanya melihat perspektif pribadi individu namun juga melihat kepentingan sosial masyarakat. Dan ini sangat berbeda dengan prinsip barat yang memaknai kesejahteraan hanya dengan sisi kepentingan individu.

            Maka ketika islam memandang kesejahteraan mencakup kepentingan diri dan sosial, komponen hubungan sosial dan humanitarian masuk dalam nilai pembentuk ekonomi. Maka pembentukan variabel ini perlu di mulai dari lingkungan keluarga yakni cakupan sosial yang paling sederhana. Institusi keluarga inilah pionir pembentuk kekuatan komponen sosioekonomi. Di sinilah kekuatan moral dibangun dan digembleng untuk cakupan sosial yang lebih besar dan nilai kemanusiaan di tanam. 

Di dalam islam semua anggota keluarga dilatih dan diperintahkan untuk bertanggung jawab atas anggota lain. Semua anggota saling memperbaiki dan menanam nilai-nilai agama dan moral kemanusiaan. Karena Allah memerintahkan Lindungi dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Ayat ini memerintahkan sikap tanggung jawab untuk diri dan anggota keluarga. Maka bermodal perintah Allah dan Rasulullah penggemblengan di dalam lingkup keluarga ini akan makin kuat dan kokoh, sehingga setiap individu keluarga tesebut siap terhadap cakupan interaksi sosial dan kemanusiaan yang lebih besar. Maka jika kekuatan nilai-nilai yang telah tertanam kuat maka orientasi dalam ekonomi pun akan melihat aspek pribadi dan masyarakat atau bahkan aspek masyarakat didahulukan ketimbang aspek pribadi.

Inilah keunggulan sistem ekonomi islam, yang mana memiliki variabel yang memperhatikan aspek sosial dan kemanusiaan sehingga visi yang dimiliki berbeda dengan visi ekonomi konvensional. Kita tahu bahwa dalam ekonomi konvensional prinsip ekonomi manusia adalah rasional yakni mementingkan kepuasan dan pendapatan semaksimal mungkin untuk individual. Dan prinsip terebut akan membawa konsekuensi ketidakseimbangan di dalam masyarakat, karena semua individu hanya mementingkan kepentingan pribadi sehingga mereka rela mengorbankan pihak yang lain termasuk keluarga yang di dalam islam ia adalah termasuk pondasi penting. Walhasil, kondisi kemrosotan ekonomi yang saat ini kita hadapi adalah buah dari pengaplikasian sistem ekonomi barat. Maka tak heran korupsi, penggelapan uang serta penerapan sistem bunga yang tinggi, semua terjadi di masyarakat.

Di sinilah celah ekonomi islam dalam memberikan solusi jangka panjang. Pembentukan variabel moral yang di dukung komponen sosial dan kemanusiaan yang dibangun dan ditanam dari lingkup keluarga memerlukan jangka panjang. Tapi dari sisi tersebutlah ekonomi islam akan membawa prospek kemakmuran di kemudian hari dan mengganti sistem kapitalis barat yang mulai menapaki kehancurannya. Karena rangkaian variabel tersebut akan menghasilkan SDM-SDM yang kuat dan kokoh dalam membangun kemajuan ekonomi ummat.

Maka saat bulan Ramadhan yang penuh berkah kali ini bisa kita manfaatkan sebagai batu loncatan dan start penggemblengan institusi keluarga yang di amanahkan kepada kita. Momentum Ramadhan sebagai syahrul ‘ibadah wat tarbiyah sangat cocok untuk kita lebih fokus dalam penggemblengan personal-personal dalam keluarga karena salah satu hikmah dari puasa di bulan Ramadhan akan membentuk pribadi-pribadi takwa. Dan takwa inilah yang akan membentuk kesolidan institusi keluarga sehingga nantinya akan membantu terlahirnya SDM-SDM yang solid dan kuat dalam menghadapi gempuran rintangan dalam membangun dan mempertahankan ekomoni umat islam zaman ini dan di masa depan Insya Allah. Wallahu a’lam

Kategori

Berita Terbaru

Blog Archive