Rabu, 09 Oktober 2019


Kehidupan manusia di dunia ini terbentuk dari rangkaian hari dan peristiwa. Waktu silih berganti, pengalaman demi pengalaman yang telah dijalani akan senantiasa memberikan pelajaran baru yang tidak berhenti melatih kualitas diri. Mereka yang mampu menempa diri dengan ujian dan pengalaman akan menjadi seorang pribadi yang kuat, berani, dan selalu memasrahkan urusannya kepada Allah SWT.  Namun bagi mereka yang  lemah dan selalu mengeluh akan tergilas kerasnya kehidupan yang selalu menuntut untuk berupaya. Terlebih pada saat-saat sekarang ini, akhir tahun yang sebentar lagi akan usai, untuk kemudian masuk pada tahun baru masehi. Maka seorang mukmin hendaknya mampu membingkai semua peristiwa dan amalan yang ia lakukan. Jika sudah baik maka ditingkatkan, atau setidaknya dipertahankan. Namun jika ada kekurangan maka hendaknya ada niat diri untuk ishlahunnafsi, pembenahan diri untuk melakukan sesuatu lebih baik di masa yang akan datang.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali-Imran: 190)
Sebuah intropeksi akan sangat kita butuhkan manakala menengok pada waktu, usia, kesempatan, dan setiap pengalaman dari berbagai peristiwa yang Allah taqdirkan pada seorang mukmin. Jika setiap peristiwa yang dialami manusia bisa diambil hikmahnya maka akan  terkuak rahasia besar didalamnya, baik bencana, musibah yang menimpa diri sendiri atau alam semesta secara umum. Semuanya tidak akan pernah luput dari hikmah besar jika seorang mukmin mampu ber-husnudzon pada Allah SWT.
Jika kamu mendapatkan luka, maka mereka (orang kafir)juga mendapatkan luka yang serupa. Dan masa kejayaan dan kehancuran itu kami buat silih berganti diantara manusia agar mereka mendapatkan pelajaran dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir dan agar sebagian kamu dijadikan syahid. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzholim.( Ali Imran )
Merenungkan ayat diatas, akan mengingatkan pada setiap mukmin untuk senantiasa berprasangka baik pada Allah, yaitu berkeyakinan bahwa semua ketetapan dari Allah adalah baik, seberat apapun ujian orang mukmin tetaplah baik. Karena memang seperti itulah adanya kehidupan mukmin. Jika ditimpa ujian ia bersabar dan jika diberikan nikmat ia bersyukur.
“Dan bisa jadi kau membenci sesuatu padahal itu amat baik untukmu, bisa jadi juga kau menyukai sesuatu padahal hal itu buruk bagimu. Allah yang maha tau sedangkan engkau tidak tahu menahu.”(al-Baqarah:216)
           Muhasabah berasal dari kata hasiba-yahsabu-hisaaban yang bermakna menghitung, mengira dan menerka. Adapun muhasabah adalah sebuah amalan berupa menghitung-hitung dan mengintropeksi diri akan semua amalan yang telah dilakukan. Muhasabah merupakan amalan mulia yang biasa dilakukan oleh para Salafusholih. Mereka adalah generasi awal-awal islam yang sangat memperhatikan cabang-cabang ibadah hati. Bahkan lebih menyibukkan amalan-amalan hati daripada amalan tindakan yang tampak oleh mata, begitupun para sahabat ridhwanullah ‘alaihim belum siap melanjutkan mengahafal kalamullah sebelum mengamalkannya. Hal ini sebagaimana Syaikh kholid Husainan tuturkan, para salaf dahulu lebih sibuk dengan amalan hati seperti ikhlas, roja’, khouf, syukur, tafakkur, berdzikir dll, yang mana semua ibadah ini tercakup dalam iman dan taqwa.
Seseorang pernah menemui Hasan al Bashri untuk bertanya,”wahai Hasan aku mengadukan padamu akan kerasnya hatiku”, beliau menjawab, lunakkanlah kerasnya hatimu dengan berdzikir”
Sufyan atsauri pernah mengatakan,”tidak ada yang lebih berat kulakukan dari pada senantiasa meluruskan niat dalam setiap ibadah”. Seorang salaf lain mengatakan pada dirinya sendiri “ wahai diriku, ikhlaslah, maka kau akan selamat”.  Begitulah diantara teladan para salaf dalam memperhatikan amalan hatinya. Secara khusus Hasan al bashri juga menuturkan, “ seorang mukmin adalah pemimpin untuk dirinya sendiri. Ia mengintropeksi dirinya karena Allah. Sungguh hisab di hari perhitungan nanti akan menjadi ringan, bagi mereka yang telah mengintropeksi dirinya di dunia. Sebaliknya hisab akan terasa sangat berat bagi mereka yang tidak pernah melakukannya.
Lantas apa sebenarnya yang harus dilakukan seorang mukmin dalam bermuhasabah atas dirinya sendiri?. Dalam kitab tazkiyatunnufus wa tarbiyatuha kamaa yuqorriruhu ‘ulama’ussalaf dijelaskan tentang tiga hal yang perlu dimuhasabah:
1.   Muhasabah atas amalan yang telah dilalaikan
 Yaitu mengintropeksi diri atas perintah dan larangan Allah yang tidak ditaati. Terutama amalan yang wajib dilakukan seperti sholat, zakat, puasa dll . seorang mukmin mesti mengutamakan perintah yang wajib-wajib terdahulu sebelum sunnah.  Sebaliknya jika amalan itu menyangkut hal-hal yang diharamkan oleh syariat, maka ia harus meninggalkannya secara utuh. Jika sudah memuhasabah atas amalan-amalan yang dilalaikan ini, akan menjadi mudah untuk mengamalkannya dan  menyempurnakannya di tahun yang akan datang.
Dalam merenungkan amalan yang telah dilalaikan, seorang mukmin hendaknya memulai dengan perkara sholat. Adakah sholat saya yang masih kurang sempurna, kurang tertib bahkan terlalaikan?, sudahkah sholat saya khusyu’? ataukah saya masih sering lalai pada bacaan-bacaan saya? Sehingga pikiran saya masih sering kemana-mana ketika sholat, selama ini apakah sholat saya sudah menjadi tameng dalam mencegah perbuatan keji dan mungkar? Dapatkah ia menahan hawa nafsu saya selama ini? Atau hanya ibadah kosong yang rutin saya lakukan?”, pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang semestinya menjadian acuan seorang mukmin dalam bermuhasabah. Terutama amalan wajib yang setiap hari dilaksanakan.
2.     Intropeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.

“Apakah kamu orang musyrik ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri yang akan beruntung?, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?........” (az Zumar:9)
Dari abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasululullah SAW bersabda:
Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang. Yang paling tinggi kalimat laa ilaaha illallah. Yang paling rendah menyingkirkan aral di jalan. Dan malu itu bagian dari iman.

Dalam islam terdapat fiqih aulawiyat, yaitu menempatkan sesuatu sesuai dengan maqom nya berdasarkan pertimbangan syariat. Antara apa yang harus didahulukan dan mana yang lebih dikedepankan. karena disana selalu ada yang penting dari yang tidak penting, dan yang lebih penting dari yang penting. Maka fiqih ini merupakan pembahasan  mengenai urusan-urusan yang harus dikedepankan dalam islam.

Dalam prakteknya seorang muslim tentu belum sempurna mengamalkan fiqih ini dalam kehidupan sehari hari. Maka setelah adanya muhasabah. Setidaknya dia mengetahui amalan-amalan yang seharusnya lebih diutamakan daripada yang lain, agar lebih efektif dalam beramal ditahun tahun selanjutnya, karena umur setiap manusia akan semakin terkurang hari demi hari.

3.     Intropeksi diri atas perkara yang mubah (yang dibolehkan syariat), atas dasar apa dia melakukanya. Apakah diniatkan untuk menggapai ridho Allah dan kebahagiaan di akhirat. Atau justru sebaliknya, dilakukan atas dasar mengharapkan dunia?

Ibnul Mubarak rahimahullah pernah mengatakan:
 “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar (pahalanya) karena sebab niat. Dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil (pahalanya) karena sebab niat.”

Syaikh Utsaimin : Amal ibadah orang yang lalai hanyalah rutinitas, namun rutinitas orang yang waspada semuanya bernilai ibadah.

Perkara mubah yang dimaksudkan adalah perbuatan sehari-hari yang nilainya bisa bermuatan ibadah, atau urusan rutinitas biasa. Namun dalam islam, setiap hal dalam urusan dunia pun bisa menjadi ibadah jika itu diniatkan untuk allah dan untuk berkhidmat pada agama. Sebagaimana  ketika seseorang mencari rizki, maka hal itu bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk mencari nafkah keluarga. Ataupun ketika seorang mukmin bekerja di sawah, di sungai, lautan, hutan dst yang mana pekerjaannya ini diniatkan untuk Allah maka ia pun masuk dalam ibadah. Dengan kesimpulan bahwa: semua perbuatan yang menjadi wasilah untuk beribadah maka hal itu bernilai ibadah.

Rasulullah bersabda: “Barang siapa yg mengikat (memelihara) seekor kuda di jalan Allah, kemudian ia memberinya makan dengan tangannya, maka baginya dari setiap biji satu kebaikan.” (HR Ibnu Majah).

Setelah setiap langkah muhasabah telah dilakukan, seorang mukmin hendaknya memiliki plan (rencana) dan target khusus ditahun depan dalam upaya meningkatkan kualitas dirinya. Baik kualitas di dunia maupun kualitas di akhirat. Maka ada beberapa langkah dalam membuat rencana:

1.     Rencana jangka pendek

Yaitu rencana yang dibuat untuk langsung dikerjakan. Seperti dalam perkara sholat: “sudahkah sholat saya khusyu’, bagaiamana kedalaman ilmu saya tentang sholat?, dan mulai tahun depan insya Allah saya akan selalu sholat berjamaah di masjid”, atau dalam hal hubungan dengan sesama manusia, misal : tentang sillaturrahmi “mulai pekan depan saya akan jadwalkan silaturrahmi ketiap sanak keluarga atau kawan”, atau tentang menyudahi masalah dengan orang lain. Hal-hal sederhana seperti inilah yang dapat merubah pribadi seorang mukmin menjadi lebih baik. Sadar tidak sadar, satu amalan kecil yang dilakukan secara konsisten akan memicu amalan-amalan yang lebih besar, bahkan sejatinya amalan yang dicintai Allah itu adalah yang sedikit tapi terus menerus.

2.     Rencana jangka panjang

Yaitu amalan yang akan dilakukan jauh-jauh hari, atau suatu saat nanti. Misalnya rencana untuk menikah, rencana untuk menunaikan ibadah haji, rencana untuk membangun balai pendidikan, dan rencana-rencana lain yang di lakukan dalam waktu panjang  dst. Bahkan sekalipun tentang kematian yang pasti akan mendatangi. Merencankannya merupakan suatu persiapan yang mulia. Sebagaimana jika seorang mukmin berniat agar diwafatkan oleh Allah dalam keadaan bersujud.

Syadad bin Aus radhiallahu ‘anhu berkata, dari Rasulullah SAW:
”Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah Ta’ala“. (HR.Ahmad, Tirmidzi, Ibn Majah)


Irsyadul Hakim,BS, M.Pd






0 komentar:

Posting Komentar

Kategori

Berita Terbaru

Blog Archive