Kehidupan manusia di dunia ini terbentuk dari rangkaian hari dan
peristiwa. Waktu silih berganti, pengalaman demi pengalaman yang telah dijalani
akan senantiasa memberikan pelajaran baru yang tidak berhenti melatih kualitas
diri. Mereka yang mampu menempa diri dengan ujian dan pengalaman akan menjadi
seorang pribadi yang kuat, berani, dan selalu memasrahkan urusannya kepada
Allah SWT. Namun bagi mereka yang lemah dan selalu mengeluh akan tergilas
kerasnya kehidupan yang selalu menuntut untuk berupaya. Terlebih pada saat-saat
sekarang ini, akhir tahun yang sebentar lagi akan usai, untuk kemudian masuk
pada tahun baru masehi. Maka seorang mukmin hendaknya mampu membingkai semua
peristiwa dan amalan yang ia lakukan. Jika sudah baik maka ditingkatkan, atau
setidaknya dipertahankan. Namun jika ada kekurangan maka hendaknya ada niat
diri untuk ishlahunnafsi, pembenahan diri untuk melakukan sesuatu lebih
baik di masa yang akan datang.
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali-Imran: 190)
Sebuah
intropeksi akan sangat kita butuhkan manakala menengok pada waktu, usia,
kesempatan, dan setiap pengalaman dari berbagai peristiwa yang Allah taqdirkan
pada seorang mukmin. Jika setiap peristiwa yang dialami manusia bisa diambil
hikmahnya maka akan terkuak rahasia
besar didalamnya, baik bencana, musibah yang menimpa diri sendiri atau alam semesta
secara umum. Semuanya tidak akan pernah luput dari hikmah besar jika seorang
mukmin mampu ber-husnudzon pada Allah SWT.
Jika kamu
mendapatkan luka, maka mereka (orang kafir)juga mendapatkan luka yang serupa.
Dan masa kejayaan dan kehancuran itu kami buat silih berganti diantara manusia
agar mereka mendapatkan pelajaran dan agar Allah membedakan orang-orang yang
beriman dengan orang-orang kafir dan agar sebagian kamu dijadikan syahid. Dan
Allah tidak menyukai orang-orang yang dzholim.( Ali Imran )
Merenungkan ayat
diatas, akan mengingatkan pada setiap mukmin untuk senantiasa berprasangka baik
pada Allah, yaitu berkeyakinan bahwa semua ketetapan dari Allah adalah baik,
seberat apapun ujian orang mukmin tetaplah baik. Karena memang seperti itulah
adanya kehidupan mukmin. Jika ditimpa ujian ia bersabar dan jika diberikan
nikmat ia bersyukur.
“Dan bisa jadi
kau membenci sesuatu padahal itu amat baik untukmu, bisa jadi juga kau menyukai
sesuatu padahal hal itu buruk bagimu. Allah yang maha tau sedangkan engkau
tidak tahu menahu.”(al-Baqarah:216)
Muhasabah berasal dari kata
hasiba-yahsabu-hisaaban yang bermakna menghitung, mengira dan menerka. Adapun muhasabah
adalah sebuah amalan berupa menghitung-hitung dan mengintropeksi diri akan
semua amalan yang telah dilakukan. Muhasabah merupakan amalan mulia yang biasa
dilakukan oleh para Salafusholih. Mereka adalah generasi awal-awal islam yang
sangat memperhatikan cabang-cabang ibadah hati. Bahkan lebih menyibukkan
amalan-amalan hati daripada amalan tindakan yang tampak oleh mata, begitupun
para sahabat ridhwanullah ‘alaihim belum siap melanjutkan mengahafal kalamullah
sebelum mengamalkannya. Hal ini sebagaimana Syaikh kholid Husainan tuturkan,
para salaf dahulu lebih sibuk dengan amalan hati seperti ikhlas, roja’, khouf,
syukur, tafakkur, berdzikir dll, yang mana semua ibadah ini tercakup dalam iman
dan taqwa.
Seseorang pernah
menemui Hasan al Bashri untuk bertanya,”wahai Hasan aku mengadukan padamu akan
kerasnya hatiku”, beliau menjawab, lunakkanlah kerasnya hatimu dengan berdzikir”
Sufyan atsauri pernah mengatakan,”tidak ada yang lebih berat kulakukan dari pada senantiasa meluruskan niat dalam setiap ibadah”. Seorang salaf lain mengatakan pada dirinya sendiri “ wahai diriku, ikhlaslah, maka kau akan selamat”. Begitulah diantara teladan para salaf dalam memperhatikan amalan hatinya. Secara khusus Hasan al bashri juga menuturkan, “ seorang mukmin adalah pemimpin untuk dirinya sendiri. Ia mengintropeksi dirinya karena Allah. Sungguh hisab di hari perhitungan nanti akan menjadi ringan, bagi mereka yang telah mengintropeksi dirinya di dunia. Sebaliknya hisab akan terasa sangat berat bagi mereka yang tidak pernah melakukannya.
Sufyan atsauri pernah mengatakan,”tidak ada yang lebih berat kulakukan dari pada senantiasa meluruskan niat dalam setiap ibadah”. Seorang salaf lain mengatakan pada dirinya sendiri “ wahai diriku, ikhlaslah, maka kau akan selamat”. Begitulah diantara teladan para salaf dalam memperhatikan amalan hatinya. Secara khusus Hasan al bashri juga menuturkan, “ seorang mukmin adalah pemimpin untuk dirinya sendiri. Ia mengintropeksi dirinya karena Allah. Sungguh hisab di hari perhitungan nanti akan menjadi ringan, bagi mereka yang telah mengintropeksi dirinya di dunia. Sebaliknya hisab akan terasa sangat berat bagi mereka yang tidak pernah melakukannya.
Lantas apa
sebenarnya yang harus dilakukan seorang mukmin dalam bermuhasabah atas dirinya
sendiri?. Dalam kitab tazkiyatunnufus wa tarbiyatuha kamaa yuqorriruhu
‘ulama’ussalaf dijelaskan tentang tiga hal yang perlu dimuhasabah:
1. Muhasabah atas amalan yang telah dilalaikan
Yaitu mengintropeksi diri atas
perintah dan larangan Allah yang tidak ditaati. Terutama amalan yang wajib
dilakukan seperti sholat, zakat, puasa dll . seorang mukmin mesti mengutamakan
perintah yang wajib-wajib terdahulu sebelum sunnah. Sebaliknya jika amalan itu menyangkut hal-hal
yang diharamkan oleh syariat, maka ia harus meninggalkannya secara utuh. Jika
sudah memuhasabah atas amalan-amalan yang dilalaikan ini, akan menjadi mudah
untuk mengamalkannya dan
menyempurnakannya di tahun yang akan datang.
Dalam merenungkan amalan yang telah dilalaikan, seorang mukmin
hendaknya memulai dengan perkara sholat. Adakah sholat saya yang masih kurang
sempurna, kurang tertib bahkan terlalaikan?, sudahkah sholat saya khusyu’?
ataukah saya masih sering lalai pada bacaan-bacaan saya? Sehingga pikiran saya
masih sering kemana-mana ketika sholat, selama ini apakah sholat saya sudah
menjadi tameng dalam mencegah perbuatan keji dan mungkar? Dapatkah ia menahan
hawa nafsu saya selama ini? Atau hanya ibadah kosong yang rutin saya lakukan?”,
pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang semestinya menjadian acuan seorang
mukmin dalam bermuhasabah. Terutama amalan wajib yang setiap hari dilaksanakan.
2. Intropeksi diri atas setiap amalan yang lebih
baik ditinggalkan daripada dikerjakan.
“Apakah kamu orang musyrik ataukah orang yang
beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri yang akan beruntung?,
sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?........” (az Zumar:9)
Dari abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
dari Rasululullah SAW bersabda:
Iman itu ada tujuh puluh sekian
cabang. Yang paling tinggi kalimat laa ilaaha illallah. Yang paling rendah
menyingkirkan aral di jalan. Dan malu itu bagian dari iman.
Dalam islam terdapat fiqih aulawiyat,
yaitu menempatkan sesuatu sesuai dengan maqom nya berdasarkan pertimbangan
syariat. Antara apa yang harus didahulukan dan mana yang lebih dikedepankan.
karena disana selalu ada yang penting dari yang tidak penting, dan yang lebih
penting dari yang penting. Maka fiqih ini merupakan pembahasan mengenai urusan-urusan yang harus dikedepankan
dalam islam.
Dalam prakteknya seorang muslim tentu
belum sempurna mengamalkan fiqih ini dalam kehidupan sehari hari. Maka setelah
adanya muhasabah. Setidaknya dia mengetahui amalan-amalan yang seharusnya lebih
diutamakan daripada yang lain, agar lebih efektif dalam beramal ditahun tahun
selanjutnya, karena umur setiap manusia akan semakin terkurang hari demi hari.
3. Intropeksi diri atas perkara yang mubah (yang
dibolehkan syariat), atas dasar apa dia melakukanya. Apakah diniatkan untuk
menggapai ridho Allah dan kebahagiaan di akhirat. Atau justru sebaliknya,
dilakukan atas dasar mengharapkan dunia?
Ibnul Mubarak rahimahullah pernah mengatakan:
“Betapa banyak amalan yang
kecil menjadi besar (pahalanya) karena sebab niat. Dan betapa banyak amalan
yang besar menjadi kecil (pahalanya) karena sebab niat.”
Syaikh Utsaimin : Amal ibadah orang yang lalai hanyalah rutinitas,
namun rutinitas orang yang waspada semuanya bernilai ibadah.
Perkara mubah yang dimaksudkan adalah
perbuatan sehari-hari yang nilainya bisa bermuatan ibadah, atau urusan rutinitas
biasa. Namun dalam islam, setiap hal dalam urusan dunia pun bisa menjadi ibadah
jika itu diniatkan untuk allah dan untuk berkhidmat pada agama. Sebagaimana ketika seseorang mencari rizki, maka hal itu
bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk mencari nafkah keluarga. Ataupun
ketika seorang mukmin bekerja di sawah, di sungai, lautan, hutan dst yang mana
pekerjaannya ini diniatkan untuk Allah maka ia pun masuk dalam ibadah. Dengan
kesimpulan bahwa: semua perbuatan yang menjadi wasilah untuk beribadah maka hal
itu bernilai ibadah.
Rasulullah bersabda: “Barang siapa yg mengikat (memelihara) seekor
kuda di jalan Allah, kemudian ia memberinya makan dengan tangannya, maka
baginya dari setiap biji satu kebaikan.” (HR Ibnu Majah).
Setelah setiap langkah muhasabah
telah dilakukan, seorang mukmin hendaknya memiliki plan (rencana) dan
target khusus ditahun depan dalam upaya meningkatkan kualitas dirinya. Baik
kualitas di dunia maupun kualitas di akhirat. Maka ada beberapa langkah dalam
membuat rencana:
1. Rencana jangka pendek
Yaitu rencana yang dibuat untuk langsung dikerjakan. Seperti dalam
perkara sholat: “sudahkah sholat saya khusyu’, bagaiamana kedalaman ilmu saya
tentang sholat?, dan mulai tahun depan insya Allah saya akan selalu sholat
berjamaah di masjid”, atau dalam hal hubungan dengan sesama manusia, misal :
tentang sillaturrahmi “mulai pekan depan saya akan jadwalkan silaturrahmi
ketiap sanak keluarga atau kawan”, atau tentang menyudahi masalah dengan orang
lain. Hal-hal sederhana seperti inilah yang dapat merubah pribadi seorang
mukmin menjadi lebih baik. Sadar tidak sadar, satu amalan kecil yang dilakukan
secara konsisten akan memicu amalan-amalan yang lebih besar, bahkan sejatinya
amalan yang dicintai Allah itu adalah yang sedikit tapi terus menerus.
2. Rencana jangka panjang
Yaitu amalan yang akan dilakukan jauh-jauh hari, atau suatu saat
nanti. Misalnya rencana untuk menikah, rencana untuk menunaikan ibadah haji, rencana
untuk membangun balai pendidikan, dan rencana-rencana lain yang di lakukan
dalam waktu panjang dst. Bahkan
sekalipun tentang kematian yang pasti akan mendatangi. Merencankannya merupakan
suatu persiapan yang mulia. Sebagaimana jika seorang mukmin berniat agar
diwafatkan oleh Allah dalam keadaan bersujud.
Syadad
bin Aus radhiallahu ‘anhu berkata, dari Rasulullah SAW:
”Orang
yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal
untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang
dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah Ta’ala“.
(HR.Ahmad, Tirmidzi, Ibn Majah)
Irsyadul Hakim,BS, M.Pd
0 komentar:
Posting Komentar