Senin, 18 November 2019


Wujud Perhatian Islam Pada Wanita
Irsyadul Hakim, B.S, M.Pd

A.    Bagaimana Islam memandang kaum wanita?
            Dalam banyak ayat Al Quran, Allah Swt. telah menerangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Disisi lain Allah Swt juga menetapkan kewajiban yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hak wanita untuk mendapatkan pahala dan masuk surga sama dengan laki-laki, beragam sesuai dengan amalannya masing-masing. Bukan karena dia seorang wanita kemudian diperlakukan tidak adil oleh Syariat.
      Dalam Al Quran, Allah Swt. menempatkan surat an-Nur, yaitu satu surat khusus yang secara umum membahas berbagai macam hukum mengenai wanita dalam Islam, permasalahan wanita di keluarga, serta permasalahan wanita ditengah-tengah masyarakat. Surah an-Nur (cahaya) mengidentifikasikan satu unsur yang sangat mulia yaitu cahaya itu sendiri, memberikan makna khusus tentang keistimewaan pembahasan ayat-ayat di dalamnya, bahkan dalam al-Qur’an tercantum surah an-Nisa (wanita) dimana menunjukkan keistimewaan mereka dalam persepsi syariat.
      Pada surah an-Nisa ayat ke-22&23 Allah Swt. telah menyebutkan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi (mahram):
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(an-Nisa:23)
Ayat ini memberikan ketegasan serta membatasi ‘ruang gerak’ laki-laki untuk menikahi wanita-wanita tersebut. Disisi lain ayat tersebut juga sebagai wujud kepedulian Islam dalam menghormati perasaan wanita dalam kehidupan berumah tangga. Larangan menikahi dua saudara dalam ayat diatas berkaitan erat dengan hadits Rasulullah Saw. :“Janganlah menikahi perempuan dengan bibinya sekaligus (baik bibi dari saudara ayah atau ibu)”. (HR. Muslim).
            Hadits tersebut menjelaskan bahwa Islam memberikan kepedulian bagi keharmonisan sebuah keluarga besar, yaitu dengan melarang seorang laki-laki menikah dengan wanita, kemudian pada waktu yang bersamaan ia menikah juga dengan saudara perempuannya atau bibinya. Hal ini sebagai jalan untuk menghindari perselisihan dan putusnya hubungan kekeluargaan, khususnya keluarga wanita tersebut.
            Diskriminasi terhadap kaum wanita yang terjadi pada masa jahiliyah, telah Allah Swt. gambarkan  secara eksplisit dalam Al Quran. Yang jika hal itu terjadi pada masa sekarang, siapapun yang melihat akan ramai-ramai mengutuknya. Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewariskan perempuan-perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyulitkan mereka karena ingin mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik. Jika kalian tidak menyukai mereka maka bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya (An-Nisa : 19).
      Diskriminasi terhadap wanita juga telah berlaku semenjak mereka dilahirkan pada masa jahiliyah. Allah Swt. berfirman:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah, betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
Bagi orang arab Jahiliyah memilki anak perempuan merupakan aib bagi mereka, terkhusus pada kalangan arab badui yang notabene kehidupan mereka dilingkupi dengan budaya penindasan dan peperangan. Mereka berasumsi bahwa kejayaan hanya bisa diraih dengan menundukkan orang lain, pada akhirnya perpecahan, pertikaian antar suku menjadi permasalahan yang biasa terjadi. Sehingga untuk memenuhi ambisi mereka membutuhkan kekuatan laki-laki, dilain sisi menyuingkirkan wanita karena dianggap lemah dan hanya membebani.
Terdapat suatu riwayat tentang kejahatan Umar bin Khattab terhadap anak perempuannya, dimana beliau dituduh telah mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Padahal sejatinya tidak ada bukti shohih tentang riwayat ini, diantara bukti kedustaan dan kebatilannya adalah hal-hal sebagai berikut :
a.       Riwayat tersebut tidak ada sama sekali di dalam kitab-kitab Hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik itu kitab hadits shahih maupun hadits dha’if. Bahkan di dalam kitab Tarikh (sejarah) Islam yang ditulis para ulama Ahlus Sunnah pun tidak ada dan tidak pernah disebutkan.
b.      Riwayat ini sangat sering dan banyak disebutkan juga disebar luaskan oleh orang-orang Syi’ah Rofidhoh yang sesat dan sangat dengki kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan para shahabat, serta kaum muslimin secara umum.
c.       Mengubur hidup-hidup anak perempuan adalah bukan tradisi dan kebiasaan keluarga Umar bin Khatthab  dan kabilahnya dari Bani Adiy di masa Jahiliyah 
   
B.     Mengapa ada anggapan diskriminasi dalam hak waris?
            Muncul diskursus mengenai jumlah bilangan dalam hak waris bagi laki-laki dan perempuan yang dianggap sudah tidak relevan untuk diterapkan pada masa sekarang. Dalam Surat An-Nisa ayat 11 dan 12, Allah Swt. menetapkan bilangan yang sifatnya qath’i (baku), dan tidak bisa dirubah-rubah mengikuti perkembangan zaman, serta perubahan karakter suatu teritorial negara. Yaitu perbandingan 1 bagi laki-laki dan ½ bagi wanita. Sebut saja Indonesia, di beberapa daerah fenomena istri bekerja sedangkan suaminya hanya bersantai-santai di warung kopi kerap ditemukan. Namun apakah hal itu bisa merubah  bilangan satu banding setengah dalam pembagian harta waris? Sama sekali tidak.
Di dalam Panduan Lengkap Muammalah karya Muhammad Bagir dijelaskan, jika apa yang diterima laki-laki sebenarnya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Lelaki memiliki kewajiban untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika tidak berkeluarga, satu bagian harta yang diwariskan itu pun sudah cukup untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, jika seorang perempuan menikah, semua keperluan hidupnya menjadi tanggungan suaminya. Sementara, bagian yang dia peroleh dari harta warisan bisa diinvestasikan atau dibelanjakan untuk kepentingan dia sendiri.
Dari sini, dapat dipastikan jika bagian perempuan yang separuh dari lelaki itu jauh lebih menguntungkan ketimbang bagian laki-laki. Karena itu, wajar jika Syaikh Mutawalli Sya'rawi, seorang ulama asal Mesir, mengungkapkan, keberpihakan Allah Swt. soal waris justru jauh lebih condong ke arah perempuan daripada lelaki. Lihat: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/17/08/18/ouvdg1313-perempuan-mendapat-setengah-dari-warisan-mengapa
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An-Nisa: 32).\
C.    Pakaian Muslimah, apakah untuk menekan mereka?
Cara Islam dalam memuliakan dan menjaga wanita diantaranya adalah dengan mengatur pakaian yang syar’i. Pemakaian jilbab, baju yang longgar, cadar, bahkan warna pakaian muslimah sekalipun tidak ditetapkan kecuali untuk   kemaslahatan wanita muslimah. Semestinya justru akan memberikan kenyamanan bagi wanita, bukan tekanan. Bagi orang-orang yang tidak menyukai adanya ketentuan ini biasanya hanya terganggu dengan penampilan yang berbeda, yang lain dari umumnya masyarakat. Padahal persoalan pakaian wanita dalam Islam  menjadi perhatian besar dalam hukum fiqih. Diantara manfaat memakai pakaian syar’i adalah Menutupi aurat, bahkan bagi yang bercadar akan menghindarkan dari berbagai macam fitnah, terhindar dari debu dan kotoran-kotoran, memperkecil bahaya dari polusi udara, memberikan perlindungan dari efek sinar matahari, melindungi wanita dari berbagai bentuk kejahatan dan godaan dari kaum adam, membantu lelaki untuk menjaga pandangannya, langkah pertama agar tertutup kesempatan dalam perzinaan dan perselingkuhan, memakai jilbab atau cadar juga sebagai sarana agar lelaki tidak bisa menilai wanita dari bentuk fisiknya saja, mengurangi kerusakan moral yang terjadi di masyarakat, agar wanita tidak terlihat menggoda, membantu menentramkan hati para lelaki dan lebih khusyuk beribadah serta tidak terus mengingat wajah wanita tersebut, hingga pada akhirnya seorang suami lebih tenang dan tidak mudah cemburu kepada istrinya, serta mendapatkan pahala dari Allah Swt. Allah Ta’ala A’lam



Kategori

Berita Terbaru

Blog Archive