Wujud Perhatian Islam Pada Wanita
Irsyadul
Hakim, B.S, M.Pd
A.
Bagaimana
Islam memandang kaum wanita?
Dalam
banyak ayat Al Quran, Allah Swt. telah menerangkan persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan. Disisi lain Allah Swt juga menetapkan kewajiban yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hak wanita untuk mendapatkan pahala dan
masuk surga sama dengan laki-laki, beragam sesuai dengan amalannya
masing-masing. Bukan karena dia seorang wanita kemudian diperlakukan tidak adil
oleh Syariat.
Dalam
Al Quran, Allah Swt. menempatkan surat an-Nur, yaitu satu surat khusus yang
secara umum membahas berbagai macam hukum mengenai wanita dalam Islam, permasalahan
wanita di keluarga, serta permasalahan wanita ditengah-tengah masyarakat. Surah
an-Nur (cahaya) mengidentifikasikan satu unsur yang sangat mulia yaitu cahaya
itu sendiri, memberikan makna khusus tentang keistimewaan pembahasan ayat-ayat
di dalamnya, bahkan dalam al-Qur’an tercantum surah an-Nisa (wanita) dimana
menunjukkan keistimewaan mereka dalam persepsi syariat.
Pada
surah an-Nisa ayat ke-22&23 Allah Swt. telah menyebutkan wanita-wanita yang
haram untuk dinikahi (mahram):
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.(an-Nisa:23)
Ayat ini
memberikan ketegasan serta membatasi ‘ruang gerak’ laki-laki untuk menikahi wanita-wanita
tersebut. Disisi lain ayat tersebut juga sebagai wujud kepedulian Islam dalam
menghormati perasaan wanita dalam kehidupan berumah tangga. Larangan menikahi
dua saudara dalam ayat diatas berkaitan erat dengan hadits Rasulullah Saw. :“Janganlah
menikahi perempuan dengan bibinya sekaligus (baik bibi dari saudara ayah atau
ibu)”. (HR. Muslim).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa Islam memberikan
kepedulian bagi keharmonisan sebuah keluarga besar, yaitu dengan melarang
seorang laki-laki menikah dengan wanita, kemudian pada waktu yang bersamaan ia
menikah juga dengan saudara perempuannya atau bibinya. Hal ini sebagai jalan
untuk menghindari perselisihan dan putusnya hubungan kekeluargaan, khususnya keluarga
wanita tersebut.
Diskriminasi
terhadap kaum wanita yang terjadi pada masa jahiliyah, telah Allah Swt.
gambarkan secara eksplisit dalam Al
Quran. Yang jika hal itu terjadi pada masa sekarang, siapapun yang melihat akan
ramai-ramai mengutuknya. Allah Swt. berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewariskan
perempuan-perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyulitkan mereka
karena ingin mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada
mereka kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan
pergaulilah mereka dengan cara yang baik. Jika kalian tidak menyukai mereka
maka bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang
banyak padanya (An-Nisa : 19).
Diskriminasi
terhadap wanita juga telah berlaku semenjak mereka dilahirkan pada masa jahiliyah.
Allah Swt. berfirman:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar
gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat
marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah,
betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
Bagi
orang arab Jahiliyah memilki anak perempuan merupakan aib bagi mereka,
terkhusus pada kalangan arab badui yang notabene kehidupan mereka dilingkupi
dengan budaya penindasan dan peperangan. Mereka berasumsi bahwa kejayaan hanya
bisa diraih dengan menundukkan orang lain, pada akhirnya perpecahan, pertikaian
antar suku menjadi permasalahan yang biasa terjadi. Sehingga untuk memenuhi
ambisi mereka membutuhkan kekuatan laki-laki, dilain sisi menyuingkirkan wanita
karena dianggap lemah dan hanya membebani.
Terdapat
suatu riwayat tentang kejahatan Umar bin Khattab terhadap anak perempuannya,
dimana beliau dituduh telah mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Padahal sejatinya
tidak ada bukti shohih tentang riwayat ini, diantara bukti kedustaan dan kebatilannya adalah hal-hal
sebagai berikut :
a.
Riwayat tersebut tidak ada sama sekali di dalam
kitab-kitab Hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik itu kitab hadits shahih
maupun hadits dha’if. Bahkan di dalam kitab Tarikh (sejarah) Islam yang ditulis
para ulama Ahlus Sunnah pun tidak ada dan tidak pernah disebutkan.
b.
Riwayat ini sangat sering dan banyak disebutkan juga
disebar luaskan oleh orang-orang Syi’ah Rofidhoh yang sesat dan sangat dengki
kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan para shahabat, serta kaum
muslimin secara umum.
c.
Mengubur hidup-hidup anak perempuan adalah bukan
tradisi dan kebiasaan keluarga Umar bin Khatthab dan kabilahnya dari Bani Adiy di masa Jahiliyah
B.
Mengapa ada anggapan diskriminasi dalam hak
waris?
Muncul diskursus mengenai jumlah
bilangan dalam hak waris bagi laki-laki dan perempuan yang dianggap sudah tidak
relevan untuk diterapkan pada masa sekarang. Dalam Surat An-Nisa ayat 11 dan
12, Allah Swt. menetapkan bilangan yang sifatnya qath’i (baku), dan
tidak bisa dirubah-rubah mengikuti perkembangan zaman, serta perubahan karakter
suatu teritorial negara. Yaitu perbandingan 1 bagi laki-laki dan ½ bagi wanita.
Sebut saja Indonesia, di beberapa daerah fenomena istri bekerja sedangkan
suaminya hanya bersantai-santai di warung kopi kerap ditemukan. Namun apakah hal itu
bisa merubah bilangan satu banding setengah dalam pembagian harta
waris? Sama sekali tidak.
Di dalam Panduan Lengkap
Muammalah karya Muhammad Bagir dijelaskan, jika apa yang diterima laki-laki sebenarnya
bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Lelaki memiliki kewajiban untuk
menafkahi istri dan keluarganya. Jika tidak berkeluarga, satu bagian harta yang
diwariskan itu pun sudah cukup untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, jika seorang perempuan menikah,
semua keperluan hidupnya menjadi tanggungan suaminya. Sementara, bagian yang
dia peroleh dari harta warisan bisa diinvestasikan atau dibelanjakan untuk
kepentingan dia sendiri.
Dari sini, dapat dipastikan jika
bagian perempuan yang separuh dari lelaki itu jauh lebih menguntungkan
ketimbang bagian laki-laki. Karena itu, wajar jika Syaikh Mutawalli Sya'rawi,
seorang ulama asal Mesir, mengungkapkan, keberpihakan Allah Swt. soal waris
justru jauh lebih condong ke arah perempuan daripada lelaki. Lihat:
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/17/08/18/ouvdg1313-perempuan-mendapat-setengah-dari-warisan-mengapa
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.
(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada
Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An-Nisa:
32).\
C. Pakaian Muslimah, apakah untuk menekan mereka?
Cara Islam dalam memuliakan dan menjaga wanita diantaranya adalah dengan mengatur pakaian yang
syar’i. Pemakaian jilbab, baju yang longgar, cadar, bahkan warna pakaian muslimah
sekalipun tidak ditetapkan kecuali untuk
kemaslahatan wanita muslimah. Semestinya justru akan memberikan kenyamanan bagi
wanita, bukan tekanan. Bagi orang-orang yang tidak menyukai adanya ketentuan
ini biasanya hanya terganggu dengan penampilan yang berbeda, yang lain dari
umumnya masyarakat. Padahal persoalan pakaian wanita dalam Islam menjadi perhatian besar dalam hukum fiqih. Diantara
manfaat memakai pakaian syar’i adalah Menutupi aurat, bahkan bagi yang bercadar
akan menghindarkan dari berbagai macam fitnah, terhindar dari debu dan
kotoran-kotoran, memperkecil bahaya dari polusi udara, memberikan perlindungan
dari efek sinar matahari, melindungi wanita dari berbagai bentuk kejahatan dan
godaan dari kaum adam, membantu lelaki untuk menjaga pandangannya, langkah
pertama agar tertutup kesempatan dalam perzinaan dan perselingkuhan, memakai
jilbab atau cadar juga sebagai sarana agar lelaki tidak bisa menilai wanita
dari bentuk fisiknya saja, mengurangi kerusakan moral yang terjadi di
masyarakat, agar wanita tidak terlihat menggoda, membantu menentramkan hati
para lelaki dan lebih khusyuk beribadah serta tidak terus mengingat wajah
wanita tersebut, hingga pada akhirnya seorang suami lebih tenang dan tidak
mudah cemburu kepada istrinya, serta mendapatkan pahala dari Allah Swt. Allah
Ta’ala A’lam
0 komentar:
Posting Komentar