Syariat Islam. Untuk Apa Diturunkan?
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah ke
dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah ikuti setiap jejak langkah setan.
Sesungguhnya setan adalah benar-benar musuh bagimu” (QS. Al Baqarah: 208)
Perintah dalam ayat tersebut bersifat wajib. Karena pada
dasarnya setiap lafadz dalam Al Quran dan Hadits yang berbentuk amr/perintah
adalah wajib sampai datang dalil lain yang merubah status hukum wajib tadi.
Artinya, penolakan terhadap kewajiban itu akan berefek dosa dan punishment bagi
pelakunya dari Sang Pemberi titah, Allah Subhanahu wa ta’ala, dan reward/pahala
bagi yang melakukan perintah itu.
Ayat tersebut memberikan kandungan yang sangat luas dari semua
aspek yang selalu bersentuhan dalam setiap aktivitas kehidupan kita sebagai pelakunya.
Di sana mencakup aspek keimanan yang disebut sebagai aqidah dan ia merupakan
pondasi dari segala bentuk amalan dzahir. Jika ada ibadah yang seorang hamba
lakukan, maka ada unsur penting yang mendahului ibadah dzahir tadi, yaitu niat
ikhlas, niat yang hanya ditujukan untuk Sang Khaliq, bukan makhluk. Jika seseorang
hendak shalat, maka sudah harus dipastikan bahwa syahadatain yang mencakup
amalan hati dan dzahir sudah terpenuhi. Maka, melaksanakan semua perintah yang
Allah tetapkan, dan meninggalkan semua laranganNya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari intisari ayat tersebut. Dan pelajaran aqidah inilah yang
Rasulullah dakwahkan kepada masyarakat Arab di Mekah saat itu sebelum menerima
perintah hukum di Madinah.
***
Al-Hakim adalah salah satu dari Asmaullah Al-Husna yang
berarti Maha Bijaksana. Kata tersebut termaktub dalam Al Quran lebih dari 90
kali, dengan maksud bahwa Ia Maha Bijaksana terhadap apa yang Ia ciptakan, Ia
tak mungkin menciptakan sesuatu dengan sia-sia, Allah mengharamkan sesuatu
karena ada sebab dan hikmahnya, sebagaimana hikmah di balik kewajiban yang
Allah tetapkan dengan kandungan hikmah yang terus-menerus bisa digali sampai ujung
logika manusia yang memiliki batas tidak bisa lagi menjangkaunya. Maka Ia tak mungkin
mensyariatkan sesuatu kecuali ada kandungan hikmah dan keuntungan yang akan
dirasakan oleh setiap manusia juga madharat yang ditimbulkan dari larangan yang
sudah Ia tetapkan. Di sini, peran iman seseorang untuk mendahului segalanya dan
mempercayai hal tersebut tanpa memberikan pertanyaan ’kenapa?’,
seperti rakyat yang mendapat titah raja. Maka, sikap para Shahabiyah radhiyallahu
‘anhunna adalah pelajaran berharga dari unsur kesempurnaan iman, ketika mereka
menarik selimut untuk berhijab dengannya saat Allah turunkan perintah untuk
berhijab[1],
tanpa didahului dengan pertanyaan “Why? Untuk apa?”.
***
Allah Subhanahu wa ta’ala mengutus Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi, pelengkap syariat sebelumnya
yang berfungsi sebagai penyempurna.
Syariat-syariat yang diturunkan secara estafet sejak Nabi
Nuh ‘alaihissalam memberi sebuah perintah yang Allah terangkan dalam
Surat As-Syura: 13. Syariat yang Allah turunkan melalui utusanNya yang terakhir
-Muhammad Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam- dirumuskan oleh para
Ulama dengan memiliki tujuan yang dikenal dengan istilah Maqaashid
As-Syariah (tujuan diturunkannya Syariat).
***
Tulisan tentang hal ini sudah lama dibahas oleh para
ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Maqashid As-Syariah ‘inda Ibn
Taimiyah; Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badawi) dan muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
(I’lamul Muwaqqi’in), juga Imam As-Syathibi (Al-Muwafaqaat), dan Ibnu Asyuur
(Maqashid As-Syariah Al-Islamiyyah). Ulama dari India Syah Waliyullah Ad-Dahlawy
(Hujjatullah Al-Balighah) juga memberikan pemaparan tentang hal itu.
Ada 5 tujuan Syariat Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan:
1.
Menjaga eksistensi Islam.
2.
Menjaga jiwa/nyawa seseorang.
3.
Menjaga akal.
4.
Memelihara keturunan dan kehormatan, dan
5.
Memelihara harta.
Dan kelimanya adalah hak asasi manusia sejak mereka
dilahirkan.
Zulfi
0 komentar:
Posting Komentar